Senin, 27 Mei 2013

Adat & Kebudayaan Masyarakat Bali



Adat & Kebudayaan Masyarakat Bali

Adat dan kebudayaan di Bali sangat erat kaitannya dengan agama dan kehidupan religius masyarakatnya. Adat dan kebudayaan tersebut memiliki akar sejarah yang sangat panjang sehingga mencerminkan konfigurasi yang ekspresif dengan dominannya nilai religius dari agama Hindu. Kongifurasi tersebut meliputi agama, pola kehidupan, pola pemukiman, lembaga kemasyarakatan, dan kesenian pada masyarakat Bali.

Agama
Sebagian besar masyarakat Bali menganut agama Hindu yang memiliki kerangka dasar meliputi tiga hal yaitu Tatwa (filsafat), Tata Susila dan Upacara. Agama Hindu berdasarkan pada kitab suci Wedha, yang keseluruhannya dihimpun dalam empat Samhita, yaitu Reg Wedha Samhita, Sama Wedha Samhita, Yayur Wedha Samhita dan Atharwa Wedha Samhita. Pada hakikatnya ajaran agama Hindu adalah Panca Cradha yang artinya lima keyakinan, yaitu Widi Cradha adalah keyakinan terhadap Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa, Atma Cradha adalah keyakinan akan adanya atman atau jiwa pada setiap makhluk, Karma Phala Cradha adalah keyakinan terhadap hukum perbuatan, Punarbhawa Cradha adalah keyakinan terhadap adanya reinkarnasi atau kelahiran kembali setelah kematian, Moksa Cradha adalah keyakinan terhadap moksa yaitu kebahagiaan yang kekal abadi.
Untuk melakukan sembahyang atau pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi termasuk manifestasinya harus di tempat suci yaitu Pura. Menurut fungsinya Pura digolongkan atas dua jenis yaitu Pura Umum sebagai tempat suci pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi dan Genealogis yaitu tempat suci untuk pemujaan terhadap roh leluhur. Upacara atau persembahan kepada Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa disebut Yadnya. Secara keseluruhan di Bali ada lima macam upacara yang disebut Panca Yadnya yaitu Dewa Yadnya adalah persembahan kepada Sang Hyang Widhi termasuk manifestasinya, Rsi Yadnya adalah kebaktian kepada para Rsi dan Sulinggih, Manusia Yadnya adalah upacara daur kehidupan manusia mulai dari dalam kandungan, kelahiran, masa anak-anak, masa dewasa, hingga meninggal, dan Pitra Yadnya adalah persembahan kepada para leluhur, serta Butha Yadnya yaitu korban yang ditujukan kepada kekuatan-kekuatan yang berfungsi memelihara keseimbangan alam.

Pola Kehidupan
Pola kehidupan masyarakat umat Hindu di Bali sangat terikat pada segi-segi kehidupannya yaitu diwajibkan melakukan pemujaan atau sembahyang pada pura tertentu, diwajibkan pada satu tempat tinggal bersama dalam komunitas, dalam kepemilikan tanah pertanian diwajibkan dalam satu subak tertentu, diwajibkan dalam status sosial berdasarkan warna, pada ikatan kekerabatan diwajibkan menurut prinsip patrilineal, diwajibkan menjadi anggota terhadap sekeha tertentu, dan diwajibkan dalam satu kesatuan administrasi desa dinas tertentu.

Pola Pemukiman
Struktur pemukiman masyarakat Bali dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu pemukiman pola kosentris seperti pada masyarakat Bali yang tinggal di pegunungan dan pemukiman pola menyebar seperti pada masyarakat Bali yang berada di dataran rendah. Pada pola kosentris Desa Adat menjadi titik sentral. Sedangkan pada pola menyebar, desa terbagi-bagi ke dalam satu kesatuan wilayah yang lebih kecil yang disebut Banjar.
Bangunan pada pemukiman masyarakat Bali menurut fungsinya dibedakan atas tiga jenis yaitu bangunan tempat pemujaan (pura), bangunan umum, dan bangunan tempat tinggal yang terdiri dari berbagai bentuk bangunan sesuai dengan pola tempat tinggal orang Bali yang bersifat majemuk. Sistem budaya yang menata pemukiman di Bali berlandaskan pada konsepsi Tri Hita Karana yang juga diacu pada konsepsi dualistis, yaitu konsepsi akan adanya dua kategori dalam tata arah utara-selatan (kaja-kelod) yang berkaitan dengan hulu-hilir (luan-teben) dan sakral-profan (suci-cemer). Segala sesuatu yang bernilai suci atau sakral menempati letak di bagian hulu (luan) yaitu pada arah gunung atau matahari terbit. Letak pura arah sembahyang yang bernilai suci harus terletak pada posisi hulu (luan). Sebaliknya segala sesuatu yang dianggap tidak suci atau profan harus menempati posisi hilir (teben) yaitu pada arah kelod atau ke laut, seperti letak kuburan, kandang ternak, kamar kecil, dan tempat pembuangan sampah. 

Kesenian
Kesenian pada masyarakat Bali merupakan satu kompleks unsur yang tampak digemari oleh warga masyarakatnya, sehingga terlihat seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat Bali. Atas dasar fungsinya yang demikian maka kesenian merupakan satu fokus kebudayaan Bali. Daerah Bali sangat kaya dalam bidang kesenian, seluruh cabang kesenian tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakatnya yang meliputi seni rupa, seni pertunjukan dan seni suara.
Seni rupa mencakup satu cabang yang terdiri dari seni pahat, seni lukis dan seni hias. Seni pahat pada masyarakat Bali telah mengalami suatu perkembangan yang panjang yaitu patung-patung yang bercorak megalitik yang berasal dari jaman pra Hindu yang dipandang sebagai penghubung manusia dengan nenek moyang dan kekuatan alam, arca dewa-dewa yang dianggap sebagai media manusia dengan dewa-dewa dan jenis ini merupakan pengaruh Hindu-Budha, patung-patung yang bertemakan tokoh-tokoh dari cerita Mahabharata dan Ramayana, bentuk-bentuk relief yang dipahatkan pada tembok pintu dan tiang rumah, serta patung-patung yang berbentuk naturalis.
Begitu pula halnya dengan seni lukis di Bali yang telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Dimulai dengan lukisan-lukisan yang bersifat simbolis magis seperti rerajahan, lukisan-lukisan religius seperti lukisan parba, langit-langit dan ider-ider, serta lukisan-lukisan yang bersifat naturalis.
Untuk seni tari tradisional di Bali berdasarkan fungsinya digolongkan dalam tiga jenis yaitu Tari Wali (Tari Sakral) merupakan tarian keagamaan yang dianggap keramat, Tari Bebali merupakan tarian yang berfungsi sebagai pengiring upacara, dan Tari Balih-Balihan merupakan tarian yang berfungsi sebagai hiburan. Jenis tarian sacral atau yang dianggap keramat antara lain : Tari Sanghyang Dedari, Tari Rejang Sutri, Tari Pendet, Tari Baris Gede, Tumbak, Baris Jangkang, Baris Palung, Pusi, Seraman, Tekok Jago, Topeng Pajangan, Wayang Lemah, Wayang Sudamala, Tari Abuang, Tari Bruntuk, Tari Dakamalon, Tari Ngayab, dan Tari Kincang-Kincung. Alat pakaian atau gander yang digunakan oleh masyarakat akan disucikan atau disakralkan.
Kesenian sastra di Bali merupakan hasil warisan budaya yang luhur dan merupakan referensi serta sumber dari bentuk-bentuk lainnya. Sejak jaman dahulu masyarakat Bali telah mengenal tulisan atau aksara Bali. Secara keseluruhan seni sastra di Bali telah mengalami lima jaman yaitu kesusastraan Bali Purba, kesusastraan Bali Hindu, kesusastraan Bali Jawa, kesusastraan Bali Baru, dan kesusastraan Bali Moderen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar