Selasa, 11 Juni 2013

Upacara Tedak Siti (Turun Tanah)



Bagi orang tua, kelahiran seorang anak, baik pria maupun wanita adalah anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Semenjak didalam kandungan hingga kelahirannya, setiap orang tua selalu berharap agar kelak anak tersebut menjadi manusia yang berguna bagi Nusa Bangsa dan Agamanya.

Pengharapan orang tua kepada anaknya tersebut diwujudkan dalam bentuk upacara adat (adat Jawa) yang dimulai sejak bayi masih dalam kandungan Ibunya, hingga anak tersebut lahir. Salah satu bentuk perwujudannya adalah dengan Upacara Tedak Siti - Turun Tanah ketika anak sudah berusia 7 bulan.
Upacara Tedak Siti itu sendiri memberi arti bahwa agar kelak anak tersebut setelah dewasa nanti kuat dan mampu berdiri sendiri dalam menempuh kehidupan yang penuh tentangan, untuk mencapai cita citanya


Rangkaian jalannya upacara :

Bayi dimandikan Banyu Gege – Air yang telah dijemur dibawah terik matahari. Banyu gege ditabur bunga talon sebagai symbol dari budi pekerti yang halus, kebijaksanaan dan keduniawian. Banyu gege le ndang gede – Sang bayi lekas besar

Bayi dimandikan oleh Ibu didampingi nenek dan penata acara (MC).Setelah berpakaian dilanjutkan dengan prosesi menginjak tanah.
Kaki bayi diinjakan di tanah lalu diinjakkan pada juadah – ketan yang bewarna hitam, merah, kuning, hijau, putih. Semua warna mewakili nafsu manusia.

Bayi dipanjatkan pada tangga yang terbuat dari tebu, melambangkan mangalahkan nafsu duniawi sehingga mencapai puncak kehidupan yang didasari Anteping Kelabu - hati yang mantap.

Bayi kemudian dimasukkan kedalam kurungan yang telah diisi dengan berbagai macam benda seperti mainan, uang, buku, perhiasan, dll. Benda-benda tersebut memberikan symbol profesi atau mata pencaharian sang bayi kelak bila telah dewasa, hal ini dapat ditentukan setelah sang bayi telah mengambil benda yang dipilihnya.

Ada pula beberapa pendukung acara berupa sesajen. Sesajen ini merupakan sarana keselamatan sang bayi, terdiri dari :

Tampah berisi jajanan pasar yang isinya bermacam jajanan pasar : buah buahan, pala gumantung - buah menggantung, pala kependem - buah didalam tanah, pala kesimpar - buah diatas tanah, umbi umbian. Melambangkan kesejahteraan Ibu Pertiwi.

Tumpeng janganan, sesaji ini mengingatkan kepada saudara yang tak terlihat dari sang bayi, lazim disebut Kakang kawah adi ari ari

Umbul umbul dikanan dan kiri agar martabat sang bayi memumbung katas. Diakhiri dengan kidungan atau puji pujian
yang merupakan pengharapan orang tuanya pada masa depan si bayi

Budaya Skotlandia Tradisi & Perayaan (Bagpipe & Highland Dancing)



Skotlandia cinta pesta,  dan perayaan biasanya melibatkan musik tradisional Skotlandia (bagpipe dan biola yang paling populer), lirik Celtic, dan menari dataran tinggi Skotlandia.
Pesta pora yg meriah ini sering disertai dengan hidangan makanan populer Skotlandia dan rasa wiski Skotlandia baik. Tidak heran mereka begitu menyenangkan!
Liburan Kristen biasa seperti Natal dan Paskah tentu saja dirayakan, tetapi tidak seperti tetangga bahasa Inggris mereka, Skotlandia pertimbangkan Tahun Baru (atau ‘Hogmanay’ seperti itu diketahui utara perbatasan) untuk perayaan musim dingin-waktu terbesar.
Celtic festival dan tradisi Celtic juga umum, seperti juga perayaan keagamaan dan ritual. St Andrews Hari (Saint Pelindung Skotlandia) adalah perayaan lain waktu musim dingin dan berlangsung pada tanggal 30 November.
St Valentines ‘Day juga merupakan’ hari besar ‘dalam budaya Skotlandia, meskipun Anda mungkin tidak memikirkan Skotlandia sebagai bangsa yang romantis! Bahkan, apakah Anda tahu bahwa sisa-sisa Imam Romawi dikenal sebagai St Valentine dikatakan terletak pada, Gereja St Francis ‘Glasgow, Skotlandia?
Tidak peduli berapa tahun Anda habiskan di Skotlandia, kemungkinan Anda akan dapat menonton, atau bergabung dengan, sebuah perayaan dari beberapa macam ….. setelah semua ada lebih dari cukup dari mereka untuk pergi berkeliling.

SEJARAH SINGKAT :
Sepanjang dunia kuno gembala bermain pipa dan seperti sikap modern terhadap upacara dan perayaan kemungkinan bahwa musik memainkan peran penting dalam masyarakat prasejarah Skotlandia dengan pipa mungkin digunakan sebagai alat untuk membangkitkan suasana. spekulasi menghibur menunjukkan bahwa pasukan Romawi di AD 84 diperkenalkan pipa ke Skotlandia dengan mengerahkan mereka untuk menghadapi suku Caledonii dipimpin oleh Calgacus pada pertempuran Mons Graupius. Apa pun, itu tidak sampai abad pertengahan bahwa bukti aktual dokumenter perpipaan di Skotlandia muncul pada catatan sejarah. bagpipe itu populer di Asia dan Eropa dan ada juga sindiran untuk itu di Skotlandia Dataran rendah maupun di Inggris. Menulis di abad ke-12, Gerald of Wales menyatakan bahwa Highlander dimainkan di ‘clarsach (kecapi)’ dan ‘tympanum’ dan ‘chorus,’ yang terakhir mungkin bagpipe droneless dengan pelantun dan tongkat pukulan sederhana. pelantun adalah fondasi kuno bagpipe dengan pesawat hanya ditambahkan dalam-14 abad 13 untuk memberikan harmonik stabil, tetapi hanya relatif baru di abad ke-19 yang pipa seperti bagpipe Highland besar dengan tiga pesawat mengadopsi bentuk akrab mereka .
Kepulauan dan Highlands selama 12-periode abad 16 diperintah oleh Penguasa Kepulauan, yang bersandar terhadap Celtic / tradisi Nordic daripada feodalisme Anglo Norman. Musisi seperti piper adalah tradisional petugas atau pemain harpa di pengadilan Lordships, dan itu adat untuk anggota seperti keluarga; seperti (kecapi) Mac o’Senog dari Kintyre, atau (pipa) MacArthur dari Islay, untuk mengadakan hibah tanah dalam kebajikan kantor keturunan mereka. Pengadilan Skotlandia Celtic mudah mengadopsi banyak kebiasaan dan pentingnya pipa dapat dilihat dalam catatan mereka. Dalam pipers abad ke-14 yang di bayar Robert Bruce putra Raja Daud II dan pada abad ke-15 Raja James I dari Skotlandia (1394-1437) dianggap sebagai piper kemampuan. Juga, pemerintahan James IV (1488-1513) menunjukkan bukti patronase untuk pipers dan para penyanyi. Hari ini Ratu Elizabeth II tetap memiliki piper pribadi yang jauh menahan diri membangunkan dirinya setiap pagi.
Awal sejarah musik Skotlandia milik Clarsach yang antara lain digunakan untuk mengiringi deklamasi bardic; sebagai memicu prajurit untuk berperang. Seperti Tidaklah mengherankan bahwa mobilitas pipa dan pengadukan volume mereka membawa perubahan dalam instrumen yang lebih disukai kepala suku dan klan selama 17 periode abad ke-16 pembangunan klan. Referensi pipers kebanyakan bagpipe dan termasuk dalam periode ketika perubahan dalam peperangan Highland membawa perubahan instrumen pertempuran. Merangsang dan mengumpulkan badan besar klan diperlukan suara yang kuat mampu meriah tentara dan menyebar teror ke musuh. Jadi clarsach menurun mendukung bagpipe dan jenis musik baru dan gaya komposisi, Piobaireachd (Pibroch).

Asal usul sejarah kota Bogor



Asal usul sejarah kota Bogor - Kota Bogor adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini terletak 54 km sebelah selatan Jakarta, dan wilayahnya berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor. Dahulu luasnya 21,56 km², namun kini telah berkembang menjadi 118,50 km² dan jumlah penduduknya 834.000 jiwa (2003). Bogor dikenal dengan julukan kota hujan, karena memiliki curah hujan yang sangat tinggi.
Sejarah awal mula berdirinya Kabupaten Bogor, ditetapkan tanggal 3 Juni yang diilhami dari tanggal pelantikan Raja Pajajaran yang terkenal yaitu Sri Baduga Maharaja yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 1482 selama sembilan hari yang disebut dengan upacara “Kedabhakti”.

Asal mula nama Bogor
Nama Bogor menurut berbagai pendapat bahwa kata Bogor berasal dari kata “Buitenzorg” nama resmi dari Penjajah Belanda.
Pendapat lain berasal dari kata “Bahai” yang berarti Sapi, yang kebetulan ada patung sapi di Kebun Raya Bogor. Sedangkan pendapat ketiga menyebutkan Bogor berasal dari kata “Bokor” yang berarti tunggul pohon enau (kawung).
Dalam versi lain menyebutkan nama Bogor telah tampil dalam sebuah dokumen tanggal 7 April 1952, tertulis “Hoofd Van de Negorij Bogor” yang berarti kurang lebih Kepala Kampung Bogor, yang menurut informasi kemudian bahwa Kampung Bogor itu terletak di dalam lokasi Kebun Raya Bogor yang mulai dibangun pada tahun 1817.
Asal mula adanya masyarakat Kabupaten Bogor, cikal bakalnya adalah dari penggabungan sembilan Kelompok Pemukiman oleh Gubernur Jendral Baron Van Inhof pada tahun 1745, sehingga menjadi kesatuan masyarakat yang berkembang menjadi besar di waktu kemudian. Kesatuan masyarakat itulah yang menjadi inti masyarakat Kabupaten Bogor.

Istana Tampak Siring



Istana Tampak Siring terletak di  Desa Tampak Siring,  Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Propinsi Bali, Indonesia. Istana Tampak Siring yang terletak di Kabupaten Gianyar, Propinsi Bali, merupakan satu-satunya Istana Kepresidenan yang dibangun setelah Indonesia Merdeka. Kelima istana lainnya merupakan bangunan yang telah berdiri sejak jaman kolonialisme Belanda, antara lain Istana Negara dan Istana Merdeka (Jakarta), Istana Bogor (Bogor), Istana Cipanas (Cipanas), serta Gedung Agung (Yogyakarta). Istana Tampak Siring biasanya digunakan oleh presiden untuk beristirahat, melakukan rapat kerja, serta melakukan perundingan luar negeri. Pada tanggal 27 April 2007, misalnya, Istana Tampak Siring menjadi saksi perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura.
Nama Tampak Siring berasal dari dua buah kata dalam bahasa Bali, yaitu tampak dan siring yang berarti: “telapak” dan “miring”. Penamaan tersebut berkaitan erat dengan legenda masyarakat setempat tentang Raja Mayadenawa. Raja ini dikenal pandai dan sakti mandraguna.
Istana Tampak Siring dibangun oleh seorang arsitek bernama R.M. Soedarsono atas prakarsa Presiden Soekarno. Pembangunan istana kepresidenan ini terbagi ke dalam dua masa, yaitu tahun 1957 dan 1963. Pada tahun 1957, di kompleks ini dibangun Wisma Merdeka dan Wisma Yudhistira. Sementara pada tahun 1963, pembangunan tahap kedua merampungkan dua gedung utama lainnya, yaitu Wisma Negara dan Wisma Bima, serta satu Gedung Serba Guna (gedung konferensi).
Istana Tampak Siring dibangun di areal berbukit dengan ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut (DPL). Para pelancong yang mengunjungi tempat ini dapat menyaksikan riwayat dan fungsi gedung bersejarah yang pernah digunakan oleh para presiden Republik Indonesia. Pada Wisma Merdeka yang memiliki luas 1.200 m2, misalnya, pengunjung dapat melihat Ruang Tidur I dan Ruang Tidur II Presiden, Ruang Tidur Keluarga, Ruang Tamu, serta Ruang Kerja dengan penataan yang demikian indah. Di gedung ini wisatawan juga dapat melihat hiasan-hiasan berupa patung serta lukisan-lukisan pilihan.
Sementara di Wisma Negara, para turis dapat menyaksikan sebuah bangunan dengan luas sekitar 1.476 m2 yang merupakan bangunan untuk menjamu para tamu negara. Antara Wisma Merdeka dan Wisma Negara terdapat celah sedalam + 15 meter yang memisahkan dua wisma tersebut. Oleh sebab itu, dibangunlah sebuah jembatan sepanjang 40 meter dengan lebar 1,5 meter untuk menghubungkan dua wisma itu. Para tamu negara biasanya akan diantar melalui jembatan ini untuk menuju Wisma Negara, sehingga jembatan ini juga dikenal dengan nama Jembatan Persahabatan. Para tamu kehormatan yang pernah melewati jembatan ini antara lain, Kaisar Hirihito dari Jepang, Presiden Tito dari Yugoslavia, Ho Chi Minh dari Vietnam, serta Ratu Juliana dari Nederland.
Wisma Yudhistira merupakan tempat menginap rombongan kepresidenan maupun rombongan tamu negara. Wisma yang terletak di tengah kompleks Istana Tampak Siring ini memiliki luas sekitar 1.825 m2. Sedangkan Wisma Bima dengan luas bangunan sekitar 2.000 m2 biasanya digunakan sebagai tempat istirahat para pengawal presiden maupun pengawal tamu negara.
Masih dalam kawasan Istana Tampak Siring ini, para turis juga dapat menikmati obyek wisata lainnya yang cukup terkenal di Pulau Bali, yaitu Pura Tampak Siring yang berada tepat di bawah Istana Tampak Siring. Pura ini juga dikenal dengan nama Pura Tirta Empul karena di pura ini terdapat sumber mata air suci (“tirta empul”). Di tempat ini, para turis dapat melakukan meditasi maupun meraup berkah dengan cara mandi di kolam khusus yang dialiri oleh air dari Tirta Empul. Mata air yang disakralkan ini konon sudah digunakan untuk penyucian dan pengobatan sejak seribu tahun yang lalu.
Kompleks Istana Tampak Siring dan Pura Tirta Empul berada kurang-lebih 40 kilometer dari Kota Denpasar. Dari Ibu Kota Propinsi Bali ini, wisatawan dapat menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan umum (taksi). Namun, apabila menginginkan tamasya yang praktis, para turis dapat menyewa jasa biro perjalanan (travel agent) yang terdapat di Kota Denpasar.

Ritual Upacara Adat Ngaben di Bali



Ritual Upacara Adat Ngaben -Pulau Bali merupakan destinasi wisata utama di Indonesia. Oleh sebab itu, wisatawan dapat dengan mudah memilih berbagai modal transportasi menuju Bali, mulai dari tranportasi darat, laut, hingga udara. Transportasi darat dapat ditempuh dengan memanfaatkan bus antar-provinsi di kota-kota besar di Pulau Jawa. Apabila menempuh jalur laut, wisatawan dapat berangkat dari pelabuhan-pelabuhan terkemuka, seperti Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), dan Tanjuk Perak (Surabaya) menuju Pelabuhan Gilimanuk, Bali.
Pulau Bali yang juga dikenal sebagai “Pulau Seribu Pura” memiliki ritual khusus dalam memperlakukan leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal. Apabila di tempat lain orang yang meninggal umumnya dikubur, tidak demikian dengan masyarakat Hindu Bali. Sebagaimana penganut Hindu di India, mereka akan menyelenggarakan upacara kremasi yang disebut Ritual Upacara Adat Ngaben, yaitu ritual pembakaran mayat sebagai simbol penyucian roh orang yang meninggal.
Kepercayaan Hindu, jasad manusia terdiri dari badan kasar (fisik) dan badan alus (roh atau atma). Badan kasar tersebut dibentuk oleh 5 unsur yg disebut Panca Maha Bhuta, yang terdiri dari pertiwi (tanah), apah (air), teja (api), bayu (angin), serta akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia yang kemudian digerakkan oleh roh. Ketika seseorang meninggal, yang mati sebetulnya hanyalah jasad kasarnya saja, sementara rohnya tidak. Oleh sebab itu, untuk menyucikan roh tersebut diperlukan Upacara Ngaben untuk memisahkan antara jasad kasar dan roh tersebut.
Tentang asal kata Ngaben sendiri ada tiga pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari kata beya yang artinya bekal, ada yang merunutnya dari kata ngabu atau menjadi abu, dan ada juga yang mengaitkannya dengan kata ngapen yaitu penyucian dengan menggunakan api. Dalam agama Hindu, dewa pencipta atau Dewa Brahma juga dikenal sebagai dewa api. Oleh sebab itu, Upacara Ngaben juga dapat dilihat sebagai upaya membakar kotoran berupa jasad kasar yang melekat pada roh (disebut pralina atau meleburkan jasad), serta mengembalikan roh kepada Sang Penciptanya.
Ritual Upacara Adat Ngaben biasanya diselenggarakan secara meriah dan mengikutsertakan ratusan hingga ribuan orang yang terdiri dari sanak saudara maupun penduduk banjar setempat (organisasi sosial khas masyarakat Bali setingkat dengan Rukun Warga). Dalam perkembangannya, upacara unik ini juga menjadi salah satu agenda pariwisata, di mana wisatawan domestik dan mancanegara dapat turut serta menonton ritual ini, terutama pada tahapan upacara utama, yaitu kremasi jenazah.
Ritual Upacara Adat Ngaben dapat dikatakan hampir merata dilaksanakan di seluruh wilayah Provinsi Bali, Indonesia. Hanya saja pelaksanaannya sangat bergantung pada pihak penyelenggara, yaitu keluarga terdekat dan kasta atau biaya untuk melaksanakan Ritual Upacara Adat Ngaben ini sangatlah besar.
Hampir di seluruh destinasi wisata di Pulau Bali telah memiliki fasilitas penginapan mulai dari hotel melati hingga hotel berbintang. Rumah makan sederhana hingga restoran mahal, pub, dan diskotek juga banyak tersedia di pulau ini.